Ketidakjujuran Sekolah dalam PPDBBulan Juni sampai Juli adalah kalender "ritual" tahunan orang tua, siswa, dan sekolah yang sibuk dengan pendaftaran siswa baru atau penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Dari tahun ke tahun, sistem penerimaan siswa baru (PSB) atau PPDB selalu ada perubahan, namun ada satu yang tidak pernah berubah, yakni pungutan (tarikan) yang selalu mewarnai setiap proses PPDB, tak terkecuali di sekolah yang berstatus negeri.

Kalau sekolah mau jujur, untuk program wajib belajar (wajar) sembilan tahun (SD-SMP), siswa tidak boleh dibebani dengan biaya apapun, karena itu pemerintah pusat mengucurkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), bahkan pemerintah daerah pun juga mengucurkan dana pendamping berupa dana Bosda.

Selain BOS dan Bosda, pemerintah pusat juga masih mengucurkan anggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan fisik dan APBD yang tak kalah fantastik nominalnya. Namun, kenapa untuk program wajar sembilan tahun ini orang tua masih dibebani dengan berbagai pungutan dengan berbagai macam dalih.

Apalagi, dalam proses PPDB, tidak sedikit orang tua calon siswa yang mengeluhkan tingginya pungutan untuk sumbangan biaya pengembangan pendidikan (SBPP) yang mencapai jutaan rupiah. Padahal, pemerintah sudah jelas-jelas melarang pungutan itu, kecuali sekolah yang berstatus sekolah berstandar internasional atau rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Fakta di lapangan, dari tahun ke tahun pungutan SBPP itu juga semakin tinggi. Bahkan, di sekolah yang jenjangnya paling dasar (SD) juga dipungut biaya ratusan juta rupiah, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

Anehnya, pungutan yang ditetapkan itu tidak disertai dengan kuitansi jika wali murid sudah membayar. Ketika ditanyakan kegunaannya dan kenapa tidak mengeluarkan tanda bukti penerimaan, pihak sekolah tidak bisa menjawab secara gamblang, terkesan ada yang disembunyikan.

Ini sebuah bukti awal ketidakjujuran sekolah, bagaimana siswa bisa jujur jika pertama masuk sudah ada ketidakjujuran yang dicontohkan oleh sekolah. Apa salahnya, jika kuitansi itu tetap diberikan pada wali murid dengan nominal sesuai yang dibayarkan.

Tahun ini, sebagian besar sekolah (SD-SMA) pada awal proses PPDB sama sekali tidak membicarakan soal biaya sama sekali, bahkan hingga siswa-siswi baru memasuki masa orientasi sekolah (MOS), juga belum ditentukan biaya pembelian seragam atau SBPP dan SPP.

Panitia PPDB di seluruh sekolah sepakat jika proses PPDB tidak dipungut biaya hingga MOS tuntas. Setelah itu komite sekolah baru mengumpulkan wali murid untuk membicarakan berbagai hal kebutuhan sekolah. Nah, disinilah letak negosiasi antara wali murid dengan komite sekolah untuk menentukan "biaya" PPDB.

Ujung-ujungnya, sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya, siswa baru tetap dikenakan pungutan yang komponennya belasan, sehingga nominalnyapun juga jutaan rupiah. Lebih-lebih sekolah yang berstatus RSBI, sedikit lebih besar pungutannya ketimbang sekolah non-RSBI.

Lalu, bagaimana dengan "woro-woro" yang tidak ada pungutan apapun? Lalu bagaimana dengan program wajar sembilan tahun yang harus dituntaskan, kalau untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri saja sudah mahal.

Memang ada pilihan sekolah gratis, namun pertimbangan lokasi dan akses transportasi menjadikan sekolah tersebut jarang dilirik calon siswa baru.

Selain itu, mungkin juga sarana dan prasarana pendukung yang kurang memadai. Ironis memang, sebagian orang berburu sekolah mahal, namun tidak sedikit masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang berkualitas karena terbentur biaya.

Apakah pemerintah akan terus menerus tutup mata melihat mahalnya biaya pendidikan yang sesungguhnya bisa digratiskan untuk jenjang SD dan SMP negeri, bahkan sekolah yang memungut biaya tinggi pun juga tak ada sanksi, sehingga sekolah dengan leluasa menentukan nominal pungutannya ?. (*)
(endang_mlg@yahoo.com)